spatrax

Jumat, 11 Januari 2013

ARTIKEL - BIDANG PRIBADI



Mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

Agar bimbingan dapat lebih terarah dalam upaya membantu siswa dalam mengatasi kesulitan belajar, kami rasa perlu diperhatikan seperti:
      1. Indentifikasi: Adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk menemukan siswa yang mengalami kesulitan belajar, yaitu mencari informasi tentang siswa dengan melakukan : 
a)      Data dokumentasi hasil belajar mereka 
b)      Menganalisis absensi siswa di dalam kelas 
c)      Mengadakan wawancara dengan siswa  
d)      Tes untuk memberi data tentang kesulitan belajar atau permasalahan yang sedang dihadapi
2. Diagnosis: Adalah keputusan atau penentuan mengenai hasil dari pengelolaan data tentang siswa yang mengalami     kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang dialami siswa. Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut :
a)      Keputusan mengenai hasil kesulitan belajar siswa
b)       Keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan belajar
c)      Keputusan mengenai jenis mata pelajaran apa yang mengalami kesulitan belajar
3. Prognosis: Prognosis merujuk pada aktivitas penyusunan rencana atau program yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar siswa. Prognosis ini dapat berupa:
a)   Bahan atau materi yang diperlukan
b)   Metode yang akan digunakan
c)   Alat bantu belajar mengajar yang diperlukan
d)   Waktu kegiatan dilaksanakan
4. Terapi: Terapi di sini adalah pemberian bantuan kepada anak yang mengalami kesulitan belajar sesuai dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis. Bentuk terapinya antara lain:
a)  Bimbingan belajar kelompok
b)  Bimbingan belajar individu
c)      Pengajaran remedial
 5. Tindak Lanjut:
Adalah usaha untuk mengetahui keberhasilan bantuan yang telah diberikan kepada siswa dan tindak lanjutnya yang didasari hasil evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan dalam upaya pemberian bimbingan.
Kesulitan belajar dipengaruhi juga oleh gangguan pada pemusatan perhatian, daya ingat, serta aspek-aspek lain yang juga turut berpengaruh seperti:
  1. Status Perkembangan Otak.
  2. Status Panca indra
  3. Status Lingkungan Psikososial


ARTIKEL - BIDANG PRIBADI



MOTIVASI BELAJAR SISWA

Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai “ daya penggerak yang telah menjadi aktif” (Sardiman,2001: 71). Pendapat lain juga mengatakan bahwa motivasi adalah “ keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan” (Soeharto dkk, 2003 : 110)

o   Motivasi Belajar Siswa Menurut Para Ahli
Definisi Motivasi Belajar Siswa - Dalam buku psikologi pendidikan Drs. M. Dalyono memaparkan bahwa “motivasi adalah daya penggerak/pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan, yang bisa berasal dari dalam diri dan juga dari luar” (Dalyono, 2005: 55).
Dalam bukunya Ngalim Purwanto, Sartain mengatakan bahwa motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan (goal) atau perangsang (incentive). Tujuan adalah yang membatasi/menentukan tingkah laku organisme itu (Ngalim Purwanto, 2007 : 61).
Dengan demikian motivasi dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan untuk terjadinya percepatan dalam mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara khusus.
Belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku sebagai hasil dari terbentuknya respon utama, dengan sarat bahwa perubahan atau munculnya tingkah laku baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya perubahan sementara oleh suatu hal (Nasution, dkk: 1992):  
Belajar adalah suatu proses yamg ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan dalam diri seseorang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu (Sudjana,2002 :280).
Djmarah mengatakan bahwa belajar adalah “suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari” (Djamarah,1991:19-21).
Sedangkan menurut Slameto belajar adalah ”merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya” (Slameto, 2003 : 2).
Belajar merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk mendapat dari bahan yang dipelajari dan adanya perubahan dalam diri seseorang baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan tingkah lakunya.
Motivasi belajar merupakan sesuatu keadaan yang terdapat pada diri seseorang individu dimana ada suatu dorongan untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan.


Dikutip Dari :
A.M. Sardiman, 2005, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

ARTIKEL - BIDANG SOSIAL



BUDAYA DAN PERKEMBANGAN EMOSI

Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.
Menurut Kroeber dan kluchohn lebih dari 50 tahun lalu berupaya untuk memetahkan kebihnekaan pengertian budaya. Menurut mereka ada 6 pemahaman pokok mengenai budaya yaitu :
1.      Definisi deskriptif : cenderung melihat budaya sebagai totalitas kompherensif yang menyusun keseluruhan hidup sossial sekaligus menunjukan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya
2.      Definisi historis : cenderung melihat budaya sebagai warisan yang di alih-turunkan dari generasi satu kegenerasi berikutnya.
3.      Definisi normatif : bisa mengambil 2 bentuk, yang pertama budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang kongkrit. Yang kedua menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku.
4.      Definisi psikologis : cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya
5.      Defifisi structural : mau menentukan pada hubungan atau keterkaitan antara  aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abtraksi yang berbeda dari perilaku kongkrit
6.      Definisi genetis : definisi budaya yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis dan tetap bertahan.

Perkembangan emosi Menurut piaget ( dalam wadswoorth, 1984:51 ) perkembangan efek selama tahap operasi formal sama hal nya dengan perkembangan kongnitif dan struktur intrelektual.selama masa remaja perkembangan efektif yang berpengaruh terhadap emosi remeja ditandai denghan dua faktor utama, yaitu
(a).perkembangan idealisme,
(b).perkembangan kepribadian.
 Perkembangan operasi formal memfasislitasi kemampuan berfikir verbal sehingga remaja tidak hanya mampu memikirkan hal-hal konkrit, tetapi ia juga mampu berpikir hipotetis berdasar situasi ril. Jadi, kalau di motivasi, anak mampu berpikir logis sebagaimana halnya orang dewasa. instrumen evaluasi argumen intelektual di bentuk untuk berfungsi sepenuhnya .remaja kurang epresiasi terhadap aturan-aturan vormal ,namun mampu menerapkan kriteria logis dalam mengevaluasi penelaran trentang pristiwa-peristiwa kehidupan. Denmgan perkataan lain, remaja lebih tertarik kepada masalah-masalah yang sifatnya lebih logis.
            Selama perkembangan operasional formal, remaja semakin menyadari keadaan diri dari orang lain. Hal ini mendorong berkembangnya perasaan-perasaan efektif terhadap orang lain, termasuk pemahamannya terhadap nilai-nilai, dan perasaan-perasaan idealistik lainnya.menurut piaget, diri ( the self ) menjadi inti kepribadian yang perkembangannya dimulai sejak tahun-tahun pertama kehidupan. konsep diri ( self concept ) saling berhubungan dengan aspek-aspek kepribadian lainnya,termasuk perkembang efektif.
            Emosi merupakan salah satu aspek psikologis manusia dalam ranah efektif.aspek psikologis ini sangat berperan penting dalam kehidupan manusia pada umumnya. Keseimbangan diantara ketiga ranah psikologis sangat dibutuhkan sehingga manusia dapat berfungsi dengan tepat sesuai dengan stimulus yang dihadapinya.
Pada masa remaja, ekspresi emosi yang tampak kadang-kadang tidak menggambarkan kondisi emosi yang sebenarnya, misalny orng yang marah belum tentu mengamuk atau bersifat agresif, tapi justru kebalikannya, diam seribu bahasa.
Perasan khuatir biasanya muncul karena imaginasi remaja yang brhubungn dengan orang lain, barang, atau situasi. Misalnya, bagaimana kalau mendapatkan tugas berpidato untuk pertam kali, apa yang harus di lakukan selanjutnya cemas mengandung perasaan takut, sebagaimana halnya dengan emosi khuatir.
Emosi jengkel berkaitan dengan emosi marah dan perasan yang tidak menyenangkan. Remaja yang tidak mampu menyesuaikan diri cederung rasa jengkel. Tidak jarang remaja yang merasa jengkel melampiaskan emosinya dengan tindakan agresif.
Selanjutnya emosi cemburu dapat muncul jika remaja merasa tidak aman atau takuk kehilangan efeksi atau status yang di milikinya. Cemburu muncul dan meningkat biasanya, karena faktor luar. Emosi cemburu mirip dengan iri, hanya saja emosi iri cenderung bersangkutan denagan materi. Kadang-kadang rasa iri mendorng remaja untuk bertindak negatif.


Dikutip Dari:
Sutrisno,Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yokyakarta: Kanisius.
Supriatna. 2011. Bimbingan dan konseling berbasis kompetensi. Jakarta: PT Raja Grafindo

ARTIKEL - BIDANG SOSIAL



MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

            Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.  
            Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
            Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
            Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai (KAT). Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
            Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
            Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
            ”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak  hingga Perguruan Tinggi  membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
            Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah. MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
            Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
            Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
            Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen .
            Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN. Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
            Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
            Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

            Dikutip dari :
1.      Sjafei Mohammad. Ruang Pendidik INS (Indonesia Nederlandsche School). 31 Oktober 1926 (sumatera Barat).
2.      Muliani. Masalah pendidikan di indonesia. Kamis, 4 Maret 2010
4.       Suharto Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Depok : ALPABETA.
5.       Sisdiknas. Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.